Hypnotherapy For Children
Seorang Ibu mengeluh bahwa ia merasa jauh atau dijauhi oleh putrinya yang beranjak remaja, sekarang duduk di kelas satu SMA. Menurut Ibu ini, ia telah melakukan banyak hal dan upaya agar bisa dekat atau akrab dengan putrinya. Semuanya seolah tidak ada hasilnya.
“Coba pak Adi bayangkan. Saya ajak putri kami ke luar bersama supaya bisa dekat dengan saya, ia selalu menolak. Alasannya macam-macam. Sibuk lah, lagi banyak tugas lah, sedang tidak pengen keluar lah, malas lah, dan berbagai alasan lainnya. Padahal saya tahu ia tidak sedang belajar. Yang ia lakukan adalah chatting atau telpon-telponan sama temannya, atau dengar musik,” keluh si Ibu.
Merasa penasaran dengan cerita ini, dan untuk tahu lebih banyak, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya seputar proses tumbuh kembang, pendidikan keluarga, interaksi orangtua dan anak, dan jadwal kegiatan mereka sekeluarga.
Apa yang ia ceritakan sesuai dan konsisten dengan pola yang selalu menjadi penyebab masalah dalam keluarga yang saya temukan selama ini. Si Ibu adalah wanita karir dan pengusaha sukses. Ia dan suaminya punya usaha yang berkembang sangat baik. Waktu mereka habis untuk mengurusi bisnis dan sangat kurang untuk anak. Mulai kecil anak diasuh oleh pembantu yang merangkap sebagai pengasuh.
Mereka selalu berkata kepada putrinya, “Apa yang papa dan mama lakukan ini semuanya untuk kamu. Kami, orangtua, kerja keras semua untuk memberi masa depan yang baik untukmu, supaya kamu bisa punya penghidupan yang layak, sekolah di sekolah yang terbaik, dan bisa menikmati hidup. Tidak seperti papa mama dulu waktu kecil hidupnya susah.”
Sekilas, alasan ini yang sering kita orangtua katakan pada anak dan kesannya memang sangat mulia. Namun sayangnya, yang sering terjadi, saking sibuknya mengurusi bisnis atau bekerja mengejar karir, kita lupa memberi waktu kepada anak, lupa berinteraksi dengan anak. Ini seringkali terjadi sejak anak masih kecil hingga remaja, bahkan dewasa. Banyak orangtua berpikir bahwa ketidakhadiran mereka dapat digantikan dengan memberi anak mainan, baju baru, gadget baru, uang, dan liburan ke luar negeri.
Sebenarnya semua pemberian ini adalah bentuk kompensasi dari orangtua karena tidak bisa memberi waktu kepada anak dan terutama untuk menebus rasa bersalah mereka. Biasanya, semakin besar rasa bersalah yang ada di dalam diri orangtua maka semakin ia permisif dan semakin banyak memberi.
Sejak kecil anak hidup dalam kesendirian dan kesepian.
Pembiaran dan pembiasaan ini membuat hati dan batin anak kering, merana, hingga akhirnya menjadi dingin. Kehangatan yang biasanya mengisi hati anak kini telah pudar dan padam. Berganti dengan perasaan asing dan terasing bahkan terhadap orangtuanya sendiri.
Dorongan kerinduan akan kehangatan melalui interaksi bermakna berusaha dipenuhi oleh anak melalui jalinan relasi dengan rekannya. Namun, upaya ini tetap tidak membuahkan hasil. Akibatnya, semakin lama hati anak menjadi semakin kering, kosong, dan hampa.
Saat anak remaja dan orangtua akhirnya sadar bahwa anak sudah dingin/jauh dari mereka, secara mental/emosi atau batin, maka mereka mulai melakukan upaya pendekatan.
Apakah mudah? Tentu tidak.
Orangtua berpikir bisa “membeli” kedekatan dan keakraban yang telah lama hilang dengan memberi anak lebih banyak uang, gadget baru, barang mahal lainnya, dan liburan ke luar negeri.
Barulah setelah upaya mereka tidak berhasil, orangtua mulai bingung atau sibuk mencari konselor atau terapis untuk “membetulkan” anak mereka.
Saat saya diminta untuk “membetulkan” anak mereka yang “rusak”, saya menolak. Bukan saya tidak mampu atau tidak bersedia. Yang pertama-tama perlu “dibetulkan” adalah orangtua, terutama mindset-nya. Apalagi bila mereka punya mentalitas laundry. Mereka berpikir anak ibarat baju kotor yang tinggal dibawa ke binatu, dicuci bersih, diberi pewangi, dan setelah itu baju kembali licin, mulus, bersih seperti baru.
Orangtua tipe ini secara tidak sadar sering berkata, “Pak Adi tolong bereskan anak kami. Tidak jadi masalah berapa sesi. Sepuluh sesi pun tidak apa Pak. Berapapun kami bayar. Yang penting anak kami berubah Pak.”
Setiap kali membantu anak mereka hati saya trenyuh. Anak-anak ini mengaku tidak butuh uang, gadget, HP, laptop, atau liburan ke luar negeri. Yang mereka butuhkan adalah waktu dan kebersamaan dengan kedua orangtuanya. Saya bahkan pernah membantu seorang anak remaja yang jumpa orangtuanya sehari hanya 30 menit yaitu saat malam mau tidur. Ini pun kalau orangtuanya sudah pulang dari kantor. Kalau orangtuanya belum pulang, ia akan tidur sendiri dan baru jumpa orangtuanya besok malam, kalau mereka sudah pulang dari kantor.
Saya sering mengakhiri sesi konseling dengan para orangtua dengan satu pesan berikut: Your best present for your children is your presence” atau dalam bahasa Indonesia artinya “Hadiah terbaik Anda bagi anak-anak Anda adalah kehadiran Anda.”